Bali di Mata Santri

Bali di Mata Santri

23 January 2023 06:03 AM

Kolom Gus Zuem, sebuah tulisan dari KH Zaimudin As’ad

Kamis 13 Januari lalu, kami terbang ke Bali bersama anak istri dengan tujuan silaturrahim dan walimahan sambil menyaksikan ayat-ayat Allah tentang keindahan cipta-Nya di pulau yang sangat dikagumi pelancong dunia / WNA itu.

Maka, Anda bisa bayangkan, betapa terpukulnya industri pariwisata di pulau artistik tersebut, ketika Covid-19 menyetop kunjungan WNA yang selama ini kedatangannya menjadi penopang hidup dan penghidupan masyarakat Bali.

Selama di sana, kami didampingi walisantri yang asli Bali (bukan pendatang), sehingga cukup faham tentang budaya masyarakat setempat. Karena itu, saya banyak dapat informasi baik tentang adat istiadat maupun aktivitas umat Islam sebagai minoritas.

Misalnya, dia menyampaikan bahwa kewajiban sembahyang bagi saudara kita umat Hindu itu 3 kali sehari ( jam 6, 12 & 18 ).

Bedanya dengan seorang muslim, bahwa kewajiban itu bersifat representatif (fardu kifayah). Apabila sudah ada anggota keluarga yang melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban sembahyang bagi yang lain.

Dia juga menyampaikan bahwa masing-masing kabupaten memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan pendirian tempat ibadah bagi umat Islam. Kalau di Denpasar, Tabanan, Negara dll cukup akomodatif , sementara di Gianyar agak rumit.

Nah, untuk mengatasi kerumitan tersebut, di kompleks-kompleks perumahan atau perkampungan yang banyak muslimnya dan perlu tempat ibadah bersama semacam musala, maka dalam perizinannya, yang mereka ajukan bukan pendirian musala tapi pedirian sanggar, sanggar pendidikan.

Kebetulan di sana hampir tiap desa / banjar memiliki sanggar untuk kegiatan budaya, misal latihan tari.

Di sanggar pendidikan itulah diselenggarakan TPQ, majelis ta’lim, salat berjama’ah dan PHBI.

“Bagaimana respons saudara-saudara kita umat Hindu di sekitar “sanggar” yang ternyata berfungsi sebagai mushalla itu ..?” tanya saya.

“Baik-baik saja, yang penting kami bisa menenggang rasa dan memberi tahu setiap akan ada kegiatan yang insedental. Bahkan dengan adanya Covid-19 itu, kami sekarang tidak lagi jum’atan di masjid jami’ yang jauh tapi di sanggar atas saran para pemuka banjar. Alhamdulillah 50 – 70 jamaah yang jum’atan, sehingga sanggar makin makmur..” jelasnya dengan senyum bahagia.

“Pergaulan kami dengan mereka sejak dulu sangat harmonis, sehingga ada 3 orang jamaah yang direkrut sebagai pecalang ( semacam hansip) di kampung. Kami juga bila Idul Adha membagi daging korban kepada mereka yang bersedia menerima, karena tidak semua warga Hindu berkenan. Maka melalui pendekatan yg dilakukan pecalang jamaah sanggar itulah, kami tau rumah-rumah mana yang penghuninya berkenan menerima daging korban. Jadi kami harus hati-hati betul dalam menjaga rasa terkait keyakinan mereka..” terangnya tentang kehidupannya bermasyarakat yang sempat “terusik” ketika terjadi bom bali dulu.

Hehehe… di mata saya, Bali itu sangat religius.

Hal ini terbukti ketika kami datang check in di hotel yang dikelola manajemen Marriott Int., istri saya yang berjilbab (hehehe.. seolah ada yang tak berjilbab) ditawari pinjaman mukena & sajadah.

Kami pun menyetujui, meski istri saya sudah membawa.

Beberapa saat kemudian si room boy menyerahkan mukenanya  saja tanpa sajadah, karena katanya sajadah masih dipakai tamu lain.

Nah… ketika mau shalat pake mukena hotel yang berjenis “potongan” (atas-bawah pisah) yang lazim terdiri dari 2 potong itu, tenyata yang kami terima sama-sama bagian atasnya.

Saya sebenarnya mau komplain.. tapi saya batalkan…. mengingat bahwa saya sedang di Bali dan tidak menginap di hotel syariah.

Toh andai dipakai, masih bisa gunakan bawahan sarung / maxi..

Baru 2 hari kemudian, ketika mau check out, si resepsionis yang di keningnya tertempel butiran beras, menanyakan adakah keluhan atas akomodasi dan pelayanannya..?

“Matur suksme..” jawab saya “semuanya sudah sesuai harapan kami.. tapi saya ingin menyampaikan saran, boleh..?”

“Silakan bapak..” jawabnya sambil beri isyarat ke staf lain supaya mendekat.

“Hehehe… istri saya kemarin dapat pinjaman mukena, terima kasih..  tapi ketika mau dipake ternyata sama-sama bagian atasnya..” kalimat pembuka saya yang mereka respons dengan mengernyitkan dahi.

Ini menandakan mereka belum paham “anatomi” mukena. Akibatnya saya dengan penuh kasih sayang menjelaskan pada “mbok-mbok” itu tentang detail mukena, sekaligus memberikan solusi praktis atas masalah tersebut.

Begitu mereka memahami penjelasan saya, mereka spotan minta maaf atas kesalahannya itu..

“Hehehe… tidak ada yang perlu dimaafkan, mbok… hehehe… itu kan karena keterbatasan kita saja…..  seperti saya yang tidak tahu: kenapa mbok-mbok di sini pake selendang diikatkan di perut tidak disampirkan di pundak seperti perempuan Jawa…. hehehe…. yang penting :  saya mengapresiasi mbok-mbok yang sudah berupaya agar kami bisa beribadah dengan nyaman… hehehe… kalau ke Jatim silakan singgah ke rumah, mbok… ” ucap saya mengakhiri percakapan yang membuat wajah mereka tersenyum ceria, terlihat dari sudut mata dan gerak alisnya.

Oh iya, selain pemakaian selendang yang berbeda antara perempuan Jawa dan Bali, juga panggilan MBOK..

Di Jawa, sebutan Mbok itu untuk perempuan yang sudah manula dan penampilan ala kadarnya.

Tapi di Bali, justru untuk perempuan yang masih fresh, tahes dan modis. Kalaupun sudah punya anak, kayaknya maksimal anaknya usia SMP gitu lah…

Hehehe…. indahnya Indonesia yang diberkahi Allah dengan keragaman yang saling mengindahkan.

Maka.. nikmat Tuhan yang manakah yang kita dustakan..? (*).

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/23/01/2023/bali-di-mata-santri/



Leave a Reply