Perpustakaan Unipdu

Kumpul Beragam Kiai

Kumpul Beragam Kiai

6 March 2023 06:00 AM

Kolom Gus Zuem, sebuah tulisan dari KH Zaimudin As’ad

 

OBAT hati itu salah satunya: “Wong kang shalih kumpulono”, membersamai para kekasih atau hamba Allah yang senantiasa taqarrub ilallah dan berakhlak mulia. Maka begitu saya mendapat undangan untuk membersamai para kiai dalam forum halaqah (sarasehan) yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren Indonesia (MP3I) akhir Februari lalu, saya langsung menjawab: siap hadir.

MP3I adalah majelis yang digagas almarhum KH Sholahuddin Wahid bersama para kiai 10 tahun lalu, di Semarang. Majelis ini unik, karena mewadahi semua pesantren ahlussunnah wal jama’ah, baik yang bernaung di bawah organisasi keagamaan NU maupun non-NU.  Akibatnya, ketika terjadi “ketegangan” dalam tubuh NU saat ini, antara yang mendukung dan tidak mendukung bakal capres tertentu, MP3I tetap bisa fokus pada “core business” : membina pesantren.

Kiai yang hadir cukup banyak, sampai panitia harus menambah kamar. Beberapa kiai luar Jawa saya tanya kira-kira apa yang memotivasi para kiai sepuh jauh-jauh hadir ke Jakarta.

Jawabnya: kerinduan bersilaturrahim secara fisik setelah 3 tahun harus menahan diri akibat pandemi. Memang kalau sudah soal terpapar rindu, rasanya tidak ada obat yang lebih manjur selain bertemu. Tidak muda, tidak tua, tidak santri, tidak kiai, semuanya sama saja. Selain mengobati kerinduan bersilaturrahim, hal lain yang menggerakkan hati mereka adalah tiadanya “beban” politik yang harus ditanggung, karena forum itu bukan mu’tamar, konggres, munas atau muswil yang melahirkan gesekan-gesekan konflik adu suara.

Juga bukan forum deklarasi pencalonan capres yang bikin tak nyaman kiai pendukung capres lain. Maka sangat wajar bila suasana halaqah tersebut sangat cair dan gayeng.

Hari pertama, saya duduk dekat seorang Buya dari Minang (Padang) bersama dua ustad dari pesantrennya. Setelah berkenalan, beliau tanya jumlah santri Darul’Ulum. “Kalau dengan mahasiswa UNIPDU, lebih dari 11.000 santri, buya” jawab saya. “Banyak sekali ya.. kalau di daerah kami, pesantren dengan 2.000 santri itu sudah sangat besar” kata beliau. Saya kaget, karena masyarakat Minang itu mayoritas Islam. Budayanya sangat religius seperti masyarakat Madura yang merasa “janggal” bila tidak muslim. “Kok begitu buya, bukankah Minang itu suku yang bersemboyan: ‘Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’ yang sangat menjunjung tinggi ajaran Islam. Mengapa minat masyarakat masuk pesantren, rendah..?”. Belum juga beliau jawab, acara sesi pertama dimulai. Saya pun menggeser kursi  agar bisa melihat dan mendengar uraian narasumber dengan jelas sambil berkata: “Maaf buya, nanti kita sambung lagi, ya..”.

Hal seperti ini selalu saya lakukan di acara-acara seminar, pengarahan atau perayaan. Saya berupaya maksimal untuk memerhatikan pembicara, siapa pun dia. Maka, kalau pas ada orang pidato kemudian sebelah saya mengajak bicara, saya tidak nyaman.

Begitu masuk “jeda kopi” ( coffee break ), ketika para kiai lainnya mencari “smooking area”, buya masih duduk di kursi yang sama, menunggu ustadnya mengambilkan kopi dan snack. “Maaf buya, melanjutkan yang tadi, mengapa pesantren di Minang jumlah santrinya sulit bisa besar..?”. “Pengaruh budaya lokal” jawab beliau singkat yang membuat saya makin penasaran karena bertentangan dengan asumsi saya.  “Kok bisa..?” tanya saya, mewakili keingintahuan pembaca setia kolom ini juga. “Begini..” jawab ustad pendamping buya setelah mendapat isyarat dari beliau “Budaya kekerabatan kami sangat berbeda dengan yang berlaku di Jawa yang patrimonial, di mana jalur laki-laki (bapak) lebih diutamakan. Di kami ini matrimonial yang lebih mendahulukan jalur ibu ( ninik-mamak ). Hal ini terkait dengan budaya merantau para lelaki minang, yang ketika merantau itu, si anak dalam asuhan amma / bibi (tante)-nya. Maka, di budaya kami, yang diperlakukan sebagai anak itu justru si keponakan”. “Lalu, apa hubungannya dengan jumlah santri yang tidak banyak, tad..?” tanya saya makin serius. “Seperti di Darul’Ulum, Tambakberas, Lirboyo dan lain-lain pesantren di Jawa itu kan pesantren-pesantren lama, yang diasuh secara turun-temurun dari generasi yang bersambung  dengan mu’assis (pendiri) sampai 4-5 generasi, sehingga pesantren tersebut terus berkembang di lokasi dan nama pesantren yang sama. Sementara di Minang tidak demikian. Seandainya buya kami wafat, maka yang melanjutkan kepemimpinan pesantren kami bukan putra buya, tapi keponakan dari istri buya, imbas budaya matrimonial tadi. Sementara putra buya sendiri tidak boleh “cawe-cawe” lagi. Maka, jika putra buya berminat pada dunia pesantren, dia harus mendirikan pesantren baru di tempat lain. Karena bila dia tetap di situ, sangat potensial muncul konflik keluarga, sebab akan ada dua matahari. Tradisi inilah yang menjadikan wilayah kami banyak pesantren tapi dengan jumlah santri yang tidak sebanyak di Pulau Jawa”.

Saya hanya bisa manggut-manggut sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. “Terima kasih ustad ilmunya, saya baru mengerti sekarang..” timpal saya sambil melihat pintu masuk kalau-kalau narsum sesi kedua sudah hadir.  Tapi yang terlihat bukan narsum melainkan tiga nyai yang saya kenal sedang  bercengkerama. Saya pun bergegas menghampiri beliau dan menawarkan jasa fotografi. “Ngapunten nyai, kulo foto nggih, damel laporan ten nggriyo.. hehehe… ” pinta saya. Begitu mereka berpose, berlarianlah para nyai yang lain ikut gabung.

Saya hanya tersenyum sambil membatin: “alhamdulillah, berarti nyai-nyai ini anggap saya seperti adik beliau sendiri, yang masih muda, hingga berkenan pose berjari saranghae. (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/06/03/2023/kumpul-beragam-kiai/

Exit mobile version