Perpustakaan Unipdu

NU dan Ikhtilaf

NU dan Ikhtilaf

6 February 2023 05:37 AM

Kolom Gus Zuem, sebuah tulisan dari KH Zaimudin As’ad

Ayah saya dulu seorang politisi NU yang andal. Terbukti pada usia 26 tahun beliau sudah menduduki kursi Ketua DPRDGR Jombang. Maka tak heran, bila di masa kecil, saya sering mendengar pembicaraan beliau dengan sesama politisi NU di rumah tentang situasi politik saat itu menghadapi manuver PKI yang makin gencar sehingga makin diterima rakyat.

Nah.. untuk manandingi manuver PKI yang sering “show of force” dengan barisan drumband yang rancak dan membahana, maka pemuda NU (anshor / ipnu) dan beberapa pesantren siap membentuk barisan drumband yang lebih besar.

Mengingat, drumband itu sesuatu yang “anyar teko” alias hal baru dalam jam’iyah NU, sementara NU adalah organisasinya para ulama, maka para politisi dan pemuda yang sudah terbakar semangatnya itu tidak berani melangkah sebelum ada dawuh / fatwa para ulama/kiai yang meng-halalkan drumband.

Maka, masalah drumband pun diangkat dalam bahtsul masail yang melibatkan para kiai khos NU, di antaranya Mbah yai Bishri Sansuri dan Mbah yai Wahab yang keduanya merupakan muassis NU itu.

Konon, dalam pembahasan masalah tersebut, kedua kiai panutan ummat itu terlibat silang pendapat yang sangat frontal, hingga saling menggebrak meja dalam mempertahankan hujjah masing-masing.

Kiai Bishri yang sangat wirai dengan pendapat-pendapatnya yang tegas/rigid dan tekstual, berpendapat bahwa drumband itu haram, tidak boleh. Sementara Kiai Wahab yang senang bergaul dengan berbagai kalangan dan cenderung kontekstual dalam menerapkan kefaqihannya, berpendapat sebaliknya: halal, boleh dilakukan.

Setelah keputusan diambil, ketika waktu salat tiba, keduanya saling berebut menuangkan air untuk wudu dan saling menyilakan untuk menjadi imam. Padahal, beberapa menit yang lalu terlibat debat halal-haram yang tajam.

Di Darul’Ulum sendiri, kami dulu punya sesepuh, Kiai Dahlan yang mengharamkan musik bahkan foto sehingga wajah beliau tak terdokumentasikan, sementara sesepuh yang lain, Kiai Romly menghalalkan.

Mereka hidup damai-damai saja dan para santri sama-sama memaklumi.

Ikhtilaf ( beda pendapat) yang lain lagi, barangkali ada pembaca yang belum tahu, hingga saat ini kita masih menemukan kiai NU yang mengharamkan murid tahfidnya ikut MTQ, karena menghindarkan muridnya dari riya’. Sementara ada kiai yang mendorong santrinya justru aktif bermusabaqah karena ingin kembangkan syi’ar Islam dan cinta Qur’an.

Meski berbeda tajam, kedua kelompok kiai itu tidak jarang saling berpelukan bila hadiri majelis-majelis (forum) khotmil Qur’an di berbagai pesantren.

Ada kisah lagi. Suatu waktu, Kiai Wahab mendengar bahwa sahabat yang sekaligus iparnya itu tidak pernah makan di warung. Untuk memastikan kabar tersebut, beliau bertanya pada Gus Dur, cucu Kiai Bishri dari jalur ibu.

Gus Dur menjawab bahwa Mbah Bishri memang tidak pernah makan di warung, karena beliau mengatakan tidak menemukan hadits yang menyatakan jika Nabi Muhamad pernah makan di warung.

Kiai Wahab menggelengkan kepala dan tersenyum tipis sambil berkata: “tentu saja, waktu itu kan belum ada warung.”

Kiai Wahab yang terkenal cerdik langsung menyusun strategi untuk menguji kabar tersebut dengan cara mengajak sohibnya itu pergi ke luar kota yang agak jauh sehingga berkesempatan makan di perjalanan.

Maka begitu tiba waktunya makan, diparkirlah mobilnya di sebuah warung. “Ayo turun semuanya, kita makan siang dulu, sudah waktunya makan nih..” ajak Kiai Wahab pada seluruh penumpang yang disambut bergegas oleh semua penumpang kecuali Kiai Bisri yang tetap bersikukuh tinggal di mobil.

Akhirnya Kiai Wahab makan sendirian di warung didampingi sopirnya. Selesai makan, beliau buru-buru balik ke mobil karena kepikiran dan kasihan pada shohibnya bila terlalu lama menunggunya. Tapi apa yang terjadi, sesampainya di mobil beliau melihat Kiai Bishri sedang lahap menikmati makanan. “Lhoo, tadi katanya tidak mau makan, lha kok malah asyik begini…hehehe…” sergah Kiai Wahab sambil tertawa.

Dengan tenang Kiai Bisri menjawab: “Lebih baik makan di mobil daripada di warung”.

Hehehe… rupanya Kiai Bisri masih bertahan dengan pendapatnya tentang “hukum” makan di warung dan diam-diam beliau menyuruh santrinya untuk membeli nasi lengkap dengan lauk dan minumanya secara take away dari warung itu..

Saya yakin, seandainya Kiai Wahab itu seperti ustad jaman sekarang yang masih “muda”, beliau pasti akan bertanya : “Apakah dulu Nabi pernah makan di mobil ya…? “ Hehehe.. bisa dibayangkan betapa akan merusak selera makan Kiai Bishri.

Tapi karena Kiai Wahab mengikuti dawuh Hadratusysyaih Hasyim As’ari bahwa akhlak/adab itu di atas ilmu, maka beliau diam saja demi memberikan kenyamanan Kiai Bishri untuk menuntaskan daharannya.

Itulah beberapa kisah inspiratif tentang indahnya merawat perbedaan (ikhtilaf) dengan kasih sayang ala nahdhiyin.

Berpendapat itu memang hak kita semua, namun jika terdapat perbedaan, tidaklah mengurangi kewajiban kita untuk menghormati yang berbeda…

Begitulah tradisi NU yang mengakar dalam menyikapi ikhtilaf…

Maka jika ada orang yang berharap agar dalam jam’iyah NU hanya satu pendapat tunggal dan tidak ada ikhtilaf, berarti orang itu baru melihat NU dengan warna kacamatanya sendiri bukan dengan kacamata NU yang warna-warni.

NU-ku selamat memasuki abad ke 2 dengan langkah pasti dalam menjunjung tinggi  peradaban mulia sebagai rahmat bagi semesta demi meraih ridha Allah. (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/06/02/2023/nu-dan-ikhtilaf/

Exit mobile version