Aura, eh Area Kasih

Aura, eh Area Kasih

30 January 2023 06:01 AM

Kolom Gus Zuem, sebuah tulisan dari KH Zaimudin As’ad

SEBAGAI orang yang senang bergaul dengan komunitas berbagai “identitas”, saya banyak mendapat ilmu dari mereka. Baik tentang pandangan hidup, nilai-nilai moral, tata pergaulan maupun tentang perilaku personal yang beragam.

Dengan demikian, saya sedikit-banyak mengetahui alasan mereka:  mengapa melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Pengetahuan itulah yang membuat saya lebih “netral” dalam menilai dan menyikapi tindakan dan sikap orang lain.

Saya jadi teringat teori Johary Window waktu kuliah dulu, yang menjelaskan sikap kita pada orang lain dalam empat jenis “area” sesuai kadar “pengetahuan” kita masing-masing.

Pertama,  open area, area terbuka: kita tahu dia, dia tahu kita.

Pada area ini, kita lebih mudah bergaul karena kita sudah saling memahami kebiasaan masing-masing, sehingga kita bisa lebih mudah mengungkapkan apa yang kita rasakan, apa adanya. Pada area ini rasa saling memaafkan sangat besar.

Kedua, blind area, area buta: kita tak tahu dia, dia tahu kita.

Pada area ini membuat kita kikuk bahkan “insecure”. Akibatnya kita tidak bisa merespons secara proporsional perilakunya karena ada perasaan takut salah. Kita mau tanya berapa anaknya, sementara kita tidak tahu apakah dia sudah menikah atau belum. Mau kirim salam pada suaminya, jangan-jangan dia baru menjanda. Kan tidak enak kalau dia menjawab : “maaf saya sedang cari calon suami yang lebih matang. Tak apa meski jadi yang kedua..”.

Ketiga, hidden area, area tersembunyi: kita tahu dia, dia tak tahu kita.

Pada area ini membuat kita lebih aktif akan tetapi direspons dingin-dingin saja. Seperti kita menghadapi artis atau pejabat negara. Kita hanya dapat respons sepatah dua patah kata saja. Pada area inilah lazim muncul sikap SKSD ( Sok Kenal Sok Dekat ) yang membuat dia tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan kita, karena dia belum yakin  apakah kita orang yang tepat untuk menerima penjelasan yang detail. Dia masih ragu atau bahkan curiga pada kita. Maka sebaiknya, sebelum kita bicara banyak dengannya, kenalkan dulu diri kita siapa dan apa aktivitas kita selama ini. Syukur-syukur bila kita sertai dengan kartu nama. Agar dia bisa memosisikan diri lebih tepat saat merespons perbincangan kita. Bisa jadi, semula kita duduk berjauhan dengannya, tapi begitu dia baca kartu kita, dia jadi mendekat, atau justru sebaliknya.

Keempat, unknown area, area tak dikenal: kita tak tahu dia, dia tak tahu kita.

Pada area sama-sama gelap ini, kita masih meraba-raba satu sama lain. Area inilah lahan tersubur munculnya konflik dari benih rasa curiga dan berpupuk prasangka. Maka semakin luas area ini, semakin potensial kekisruhan akan mewarnai suatu wilayah. Kita bawa pisau, langsung dia respons bawa pedang, padahal kita mau ke kebun memanen pisang.   Tidak ada komunikasi yang cair, adanya hanya saling menduga atas dasar pemahaman masing-masing tentang orang lain. Seperti saya marah pada orang Arab yang pegang-pegang kepala saya saat mereka menuju shaf depan di Masjid Nabawi, karena pemahaman saya bahwa kepala adalah bagian tubuh yang harus dihormati sehingga tak boleh disentuh sembarangan. Sementara pemahaman orang sana, kepala itu bagian tubuh untuk pelampiasan rasa sayang, boleh di-uyeg-uyeg dan diciumi. Ingat kisah Mbah Yai Maimun Zubair yang kepalanya di-uyeg-uyeg dan diciumi seorang syaikh di Makkah. Beliau sih senyum-senyum saja, tapi santri pengawalnya yang dongkol menahan marah. Beliau senyum dengan sabar karena pengetahuannya yang luas tentang budaya arab, sedang santrinya yang marah karena pengetahuannya yang terbatas.

Hal itu menunjukkan, betapa keterbatasan pengetahuan ( saya tidak bilang kebodohan ) merupakan penyumbang utama munculnya amarah alias sumbu pendek terhadap sesuatu yang tidak “dikenalnya”.

Maka, salah satu ikhtiar yang efektif untuk memperkecil potensi amarah pemicu konflik sosial adalah saling  membuka diri untuk mau “dikenal” dan “mengenal” orang / pihak lain, sehingga “unknown area” bisa kita persempit agar kita dapat memiliki aura kasih.. eh maaf.. area kasih yang penuh aura persaudaraan antarsesama, di mana pun berada.

Dengan demikian, insya-Allah kita bisa menjadi bagian yang dititahkan Allah sebagai rahmat atau anugerah bagi alam lingkungan sekitar kita. (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/30/01/2023/aura-eh-area-kasih/



Leave a Reply