Yasin-Tahlil di Seberang Orchard

Yasin-Tahlil di Seberang Orchard

16 January 2023 06:01 AM

Kolom Gus Zuem, sebuah tulisan dari KH Zaimudin As’ad

Bagi Anda yang suka belanja barang branded (bermerek) dengan pilihan yang sangat variatif di Singapura, tentu tak asing dengan nama jalan ini : Orchard Road.

Di sepanjang jalan itu kita bisa baca nama outlet (toko) produk fashion ternama, mulai sepatu, tas, busana, parfum hingga  perhiasan.

Saya lihat suasana tiap outlet awal Desember lalu agak sepi. Beda sekali dengan sebelum pandemi 3 tahun lalu.

Padahal bandara Internasional Changi mulai ramai.

Mungkin akibat resesi yang memukul daya beli wisatawan Eropa dan Amerika, kalaupun mereka memadati bandara Changi, sepertinya yang datang mayoritas para tourist  backpacker yang niat perjalanannya sekadar menikmati pengalaman wisata saja, bukan untuk belanja.

Negara Singa itu sangat total menggarap pariwisatanya. Dengan pemerintahan yang tegas dan berkomitmen untuk merawat keragaman budaya rakyatnya, menghasilkan lingkungan yang indah, bersih dan sangat aman.

Menurut Global Peace Index (GPI), negeri Lee Hsien Loong ini masuk peringkat 9 negara teraman di dunia.

Bagaimana tidak aman, memetik daun dan bunga di area publik saja dikenai sanksi. Akibatnya motto “bukan taman dalam kota tapi kota dalam taman” betul-betul mewujud dan membuat wisatawan berdatangan.

Bagaimana dengan keamanan Indonesia..?. Saya tidak bermaksud membandingkan, “ojo dibanding-bandingke”.  Karena tidak fair membandingkan antara Indonesia dengan negara seluas cuma 722 km² itu. Wilayah Jombang saja luasnya 1.159,5 km² .  Hanya sekadar informasi, menurut GPI tahun 2022, negara kita masuk 50 negara teraman di dunia, pada peringkat ke-47, jauh di bawah Malaysia yang peringkat 18.

 

Kembali ke Orchard Road. Setelah melewati jalan itu, agar kami bisa ke Orchard jalan kaki, kami serombongan diturunkan di parkiran Bideford Road dekat hotel Holiday Inn.

Ketika kami mau ke jembatan penyeberangan menuju Metro Super Market , pemandu menawari kami shalat di masjid Al Falah. Saya agak “terkejut” karena baru kali ini saya tau, di kawasan itu ada masjid yang tampak luarnya tak seperti masjid lain di Negeri Singa itu. Tak ada kubah maupun menara identitas masjid.  Mirip hotel sebelah.

Pintu muslimin di lantai 1. Begitu kita masuk, tata ruangnya seperti loby hotel, meski kecil.  Selain ada perpustakaan dan tempat wudu, ada kafe yang nyaman di ujung lorong.

Sedang pintu untuk muslimat, langsung menuju tangga lantai 2. Selain ada tempat sholat dengan balkon melihat ke mihrab di bawah, ada tempat wudu dan ruang kelas “diniyah” untuk anak-anak. Semuanya tertata rapi, bersih dan wangi  ala hotel berbintang, standar properti Singapura.

Setelah wudu saya masuk ke ruang shalat yang luasnya kira2 480 m2. Perlahan mata saya mencermati detail artistik interior masjid yang lebih berkiblat ke motif relief Andalusia dibanding Asia. Sehingga saya sempat menduga bahwa masjid ini dikelola dengan amaliah ibadah ala “sana”. Tapi begitu melihat di mimbar ada tongkat khatib, dugaan saya mulai terkoreksi.

Lebih terkoreksi lagi, ketika dari sorotan LCD projector yang berisi informasi agenda kegiatan masjid, saya membaca kegiatan pada tiap hari Kamis ba’da Isya (Malam Jum’at) yaitu pembacaan Yasin dan Tahlil.

Langsung perasaan saya tidak lagi seperti di Singapura, tapi seperti berada di masjid Islamic Center Unipdu Jombang.

Hanya beda kesejukan, ketebalan karpet dan aroma parfumnya saja.

Saat itu, ketika rombongan ibu-ibu menyusuri Orchard, saya tidak beranjak dari masjid. Bukannya untuk i’tikaf, tapi menikmati capucino panas di kafe masjid sambil bincang-bincang asyik dengan pengurus yang berkisah tentang betapa MUIS (Majelis Ugama Islam Singapore) di bawah Ministry of Culture, Community and Youth, sangat commited dalam “melindungi” masjid-masjid di sana dari ujaran meresahkan.

Majelis itulah yang mengeluarkan lisensi untuk muballigh, khatib dan imam-imam masjid setempat.

Maka, seandainya ada muballigh yang ceramah  bahwa Tahlilan itu bid’ah, bisa jadi besoknya dia tidak bisa ceramah lagi, karena lisensinya dicabut.

Bandingkan dengan di negeri kita..Maka “bersyukurlah” kita hidup di Indonesia, yang  pemerintahannya bisa mengayomi para muballigh dengan keragaman aspirasinya, termasuk yang ucapannya kadang saya rasa tidak pantas keluar dari mulut muballigh yang seharusnya ber-qaulan karima. (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/16/01/2023/yasin-tahlil-di-seberang-orchard/



Leave a Reply