Walimah dan Politik

Walimah dan Politik

9 January 2023 06:01 AM

Kolom Gus Zuem, sebuah tulisan dari KH Zaimudin As’ad

ADA tiga hak anak yang harus dipenuhi orang tua: memberi nama, mendidik dan menikahkan bila sudah tiba saatnya. Begitu dawuh Rasulullah.

Maka jika seorang ayah/ibu sudah memenuhi ketiga hak anak tersebut, tuntaslah kewajibannya sebagai orang tua.Apabila ketiga kewajiban itu ditakar bobot pikiran orang tua -menurut saya- tugas menikahkanlah yang paling membebani pikiran.

Betapa tidak, soal memberi nama, sangat mudah dan singkat. Soal mendidik anak, kita “tinggal” percayakan pada para pendidik ( kiai, ustad, dosen dan guru). Sementara soal menikahkan, kita harus bicara tentang “kecocokan” kedua-belah pihak.

Sering terjadi, orang tua sudah merasa saling cocok, tapi anak tidak, atau sebaliknya. Itu belum termasuk kemungkinan peran keluarga besar yang turut mempersempit peluang  kecocokan.

Maka, kalau bukan karena Kuasa Allah, rasanya mustahil mempertemukan dua jiwa dari dua keluarga bahkan dua latar belakang budaya yang berbeda untuk menyatu dalam ikatan hati dengan janji sehidup semati.

Oleh karena itu, sangat wajar bila orang tua yang anaknya telah dipertemukan Allah dengan jodohnya, merasa amat sangat bersyukur. Sebab, selain mensyukuri anaknya, juga atas ketuntasan kewajibannya sebagai orang tua.

Nah, dalam rangka mengungkapkan rasa syukur atau syukuran itulah, orang tua dianjurkan untuk mengadakan walimah ( slametan) mengundang makan bersama (gembul bujono) saudara dan karib kerabatnya, meski hanya menyembelih anak kambing (walau bisatin).

Dalam walimah itu terselip permohonan doa untuk mempelai, sekaligus pemakluman pada khalayak bahwa anak mereka sudah dalam kebersamaan dengan ikatan sah sesuai tuntunan agama.

Kita sebagai sahabat atau kerabat yang diundang, wajib hukumnya untuk datang. Maka bila saya tidak bisa datang pada hari H sesuai undangan, biasanya saya hadir di hari lain, sebelum atau sesudahnya.

Alhamdulillah, beberapa hari lalu saya bisa memenuhi undangan dua “saudara” saya yang berjauhan dan “berseberangan” satu sama lain.

Sabtu (10/12) saya ke Palembang, memenuhi undangan Bapak Marzuki Ali ( Ketua DPRRI 2009-2014) dengan pernikahan adat Melayu Palembang.

Beda dengan adat Melayu Deli, di Palembang kaum wanitanya masih diperbolehkan lihat prosesi ijab kabul. Di situ saya berjumpa dengan Ketua DPD La Nyala, Menpora Zainudin Amali dan Mendag Zulkifli Hasan yang bertindak sebagai saksi. Rupanya tidak semua menteri hadir di akad nikah Kaesang yang sedang berlangsung di Jogja.

Siangnya kami langsung terbang ke Solo. Karena harus segera check in hari itu juga di hotel yang disiapkan panitia untuk persiapan hari Ahad (11/12) pukul 9.30 menuju Pura Mangkunegaran Solo, memenuhi undangan Pak Jokowi.

Masuk hotel Syariah Solo, Magrib. Dikabari panitia bahwa jam 19.30 diadakan jamuan makan malam (gala dinner) di hall hotel. Sesuai agenda, saya bersama istri hadir di hall berjumpa para kiai, habaib dan ustad. Saya merasa bersyukur karena di forum itu saya bisa silaturarrahim dengan para kiai sepuh Jawa : Kiai Arwani, Kiai Musthofa Bisri, Kiai Anwar Mansyur dan lain-lain. Kalau yang ustad, ada ustad Adi Hidayat, Yusuf Mansur dll.

Ahad pagi setelah sarapan, semua undangan disilakan masuk bus yang disediakan panitia menuju Pura Mangkunegaran, karena semua undangan tidak boleh bawa mobil, termasuk yang rumahnya Solo. Akibatnya alumni Darul’Ulum tetangga Habib Syeh di Solo, bermalam juga di hotel kami.

Dari menghadiri acara walimah di kedua tokoh politik tersebut, saya dapat menarik kesimpulan bahwa walimah adalah ajang silaturrahim acara kekeluargaan: orang tua yang bersyukur atas perjodohan anaknya,titik. Bukan panggung politik.

Baik di Palembang (Pak Marzuki Ali) maupun di Solo (Pak Jokowi), saya melihat para tamu yang kesehariannya biasa mengenakan jaket aneka warna parpolnya, saat itu mereka tanggalkan dan lupakan perseteruannya, cair dalam kebersamaan ngayu bagyo kebahagiaan pengundang sebagai orang tua mempelai, bukan sebagai eks ketua DPR RI maupun presiden.

Bahkan para menteri yang secara protokoler wajib menyematkan pin jabatan di dada kirinya, saat itu digantikan bross di beskapnya sebagai penanda “jabatan” among tamu.

Akhir kata.. acara di Mangkunegaran, secara fisik cukup melelahkan, antre salamannya saja satu jam-an.

Maka bersyukurlah Anda yang tak hadir di situ, sehingga bisa lihat live streaming dari rumah, sambil leyeh-leyeh bersama keluarga.. hehehe..😀

Jadi, tiada alasan untuk tak bersyukur… mari selalu bersyukur.. alhamdulillah.. puji Tuhan..

Kiranya Tuhan sayangi kita semua. (*)

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang                                                 

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/09/01/2023/walimah-dan-politik/  



Leave a Reply