Perpustakaan Unipdu

Kancil dan Argentina

Kancil dan Argentina

28 November 2022 06:01 AM

KH Zaimuddin Wijaya As’ad (Gus Zuem)

Hari Rabu tanggal 23 November, seluruh ASN dan sekolah di Kerajaan Arab Saudi (KAS) mendapat hadiah libur nasional dari raja Salman. Libur yang tidak teragendakan dan hanya sehari. Sehingga rakyat tidak bisa merencanakan perjalanan liburan ke mana-mana.

Kecuali mereka mengenal budaya harpitnas (hari kejepit nasional) seperti kita. Maka liburan bisa dilanjut sampai Sabtu. Sekadar informasi, di sana libur kantor itu Jumat-Sabtu.

Libur yang dihadiahkan Khadimul Haramain pada rakyatnya tersebut merupakan wujud rasa bahagia dan syukur atas kemenangan tim sepakbola KAS melawan Argentina (2-1).

Saya perkirakan, Raja Salman sudah menyiapkan hadiah khusus untuk Saleh Al Shehri (11) dan Salem Al Dawsari (10) yang berhasil mencetak gol pada menit 48 dan 53 di tengah kemelut depan gawang Martinez.

Mengapa raja rela menghadiahkan liburan pada rakyatnya..? Karena yang ditaklukkan adalah kesebelasan Argentina, tim juara dunia dua kali dan saat ini salah satu tim yang difavoritkan masyarakat persepakbolaan internasional untuk menjadi juara lagi.

Jadi di sini, bukan semata kemenangan tim negaranya yang membuat raja bersukacita, tapi pengakuan raja terhadap eksistensi kesebelasan Argentina sebagai super team-lah faktor penyebabnya. Saya yakin, seandainya tim KAS menang atas kesebelasan Qatar, Jepang atau Iran, hadiah liburan itu tidak akan diterima rakyat. Apalagi kalau menang atas kesebelasan PS**.

Di sisi lain, tampaknya tim La Albiceleste (Putih Biru langit) sangat menikmati pengakuan itu, sehingga permainan mereka di babak pertama setelah menang dengan tendangan pinalti, seperti pertandingan persahabatan saja, tanpa greget seolah mereka berniat menghemat tenaga untuk pertandingan berikutnya dengan lawan yang lebih berat, karena lawan yang dihadapi sekarang “kecil”. Begitu pikirnya.

Persis seperti dongeng kancil lomba lari lawan kura-kura. Karena kancil merasa pasti menang, maka saat menang di etape pertama, dia tunggu kura-kura sambil tiduran di bawah pohon. Tak tahunya hawa “merasa unggul” itu membuatnya betul-betul tertidur pulas sehingga ia baru terbangun ketika si kura sudah mendekati garis finish. Maka, begitu bangun, dengan sekuat tenaga, kancil pun berupaya maksimal mengejar ketertinggalannya. Namun sayang, perjuangannya sia-sia, karena kura tinggal sejengkal menyentuh garis kemenangan.

Analogi itu selaras dengan pengakuan Lionel Scaloni yang mengatakan bahwa anak asuhnya seharusnya sejak awal bermain seperti sedang berlaga final.

Permainan Messi dkk baru kelihatan kelasnya ketika menit ke 50 setelah gawangnya secara mengejutkan dikoyak bang Saleh. Tapi di pihak lain, gol itu menjadi api besar pembakar semangat juang si Elang Hijau untuk berjibaku tanpa beban.

Ya, tanpa beban, karena jangankan menang, kedudukan seri saja sudah merupakan “kemujuran” bagi tim asuhan Herve Renard ini. Maka ketika bang Salem mampu menjebol gawang Argentina sebagai penentu kemenangan, gemuruhlah penonton seluruh Jazirah Arab dan tampak lemaslah wajah Di Maria.

Saat itulah tagline milik Adidas “impossible is nothing”  (ga ada yang ga mungkin) di papan reklame stadion Lusail, menemukan korelasinya.

Pelajaran yang bisa kita petik, jangan pernah mengecilkan apa dan siapa pun yang kita hadapi. Karena pada saat kita mengecilkan, secara tidak sadar kita memosisikan diri sebagai yang besar atau merasa besar.

Begitu kita merasa besar, seketika itulah Tuhan menghentikan pertolongan-Nya. Karena Allah tidak menyukai orang-orang yang merasa besar ( mutakabbirun ). (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/28/11/2022/kancil-dan-argentina/  

Exit mobile version