Pernikahan dan Peperangan

Pernikahan dan Peperangan

14 November 2022 06:01 AM

KH Zaimuddin Wijaya As’ad (Gus Zuem)

KALAU saja bukan karena “ayat” alias bukti kekuasaan Tuhan, barangkali usia pernikahan itu tak kan pernah lebih dari usia jagung.

Bayangkan, dua jiwa yang semula berjauhan bahkan tak saling kenal, kemudian mereka saling kenal dengan karakter/watak yang sejatinya berbeda, tapi di-sama-sama-kan demi untuk bisa selalu bersama saat PDKT atau pacaran.

Saat itu, ucapan mereka sangat terjaga, bahkan intonasi suaranya pun tak pernah lebih dari setengah oktaf, hingga cenderung berbisik.

Penampilan mereka selalu fresh, sedap dipandang dengan aroma parfum yang semerbak sehingga menyentuh titik kenang memori otak.

Kalau pun mereka makan bersama di resto, sama sekali tak mempermasalahkan menu yang dipilihkan kekasihnya, meski sebenarnya dia tidak menyukai makanan itu.

Karena bagi mereka, keberadaan di resto, bukan untuk menikmati hidangan, tapi menikmati kedekatan yang menumbuhkan harapan-harapan indah di masa-masa menua bersama nanti..hehehe… so sweet yaa..

Itu saat PDKT…

Tapi, begitu usai ijab-qabul, saat itulah mereka mulai membuka lembar-lembar kenyataan yang penuh “kejutan”, karena bungkus-bungkus keindahan dulu, semuanya akan mengelupas dengan sendirinya dan meyisakan segala keaslian mereka yang beda dari harapan, sehingga terbitlah sesal-sesal di kemudian hari.

Maka, agar pasangan itu sadar bahwa warna hidup mereka berbeda antara saat sebelum dan sesudah ijab-qabul, para leluhur kita memiliki kata yang sangat euphemistik (halus) dalam memberi ucapan kepada pengantin baru agar tetap semangat dan optimis, yaitu : “Selamat Menempuh Hidup Baru”

hehehe.. saya katakan euphemistik, karena pernikahan itu sesungguhnya bukan hidup baru, melainkan peperangan baru.

peperangan? Ya, sebab mereka yang baru saja ijab-qabul adalah pejuang-pejuang seumur hidup atas masing-masing haknya, sekaligus berjuang untuk memenuhi kewajibannya dan mempertahankan kebersamaan mereka selama mungkin.

Analogi (i’tibar) saya atas pernikahan sebagai peperangan, terinspirasi oleh diperbolehkannya kita berbohong dalam kedua hal tersebut.

Dalam perang, seorang pasukan diperbolehkan bohong, tidak mengatakan dengan jujur di mana panglimanya bersembunyi, demi menjaga keselamatan bangsa.

Dalam pernikahan, seorang suami diperbolehkan bohong, tidak mengatakan dengan jujur atas masakan istrinya yang keasinan.

Begitu juga seorang istri diperbolehkan bohong, tidak mengatakan dengan jujur atas panasnya bahan baju oleh-oleh suaminya, demi menjaga keselamatan rumah tangga mereka.

Hehehe.. saya tidak bisa membayangkan, betapa sibuknya Peradilan Agama menangani perceraian, bila suami-istri wajib berkata jujur apa adanya pada pasangannya.

Untunglah “kebohongan” terhadap pasangan tidak dihukumi sebagai sebuah pelanggaran.

Meski demikian, sangatlah tidak mudah membuat kebohongan yang “wajar” pada pasangan, karena harus didukung bahasa tubuh dan perilaku yg merefleksikan ucapannya… hehehe. .. menikmati masakan yang keasinan dan mengenakan baju yang panas…

Maka, saya sulit membayangkan, betapa lihainya seorang suami yang bisa melakukan kebohongan pada empat istrinya yang berbeda karakter. (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/14/11/2022/pernikahan-dan-peperangan/  



Leave a Reply