Perpustakaan Unipdu

“Kalah”

“Kalah”

10 October 2022 06:01 AM

KH Zaimuddin Wijaya As’ad (Gus Zuem)

SETIAP kita, selalu berharap mendapat kemenangan. Akibatnya, ketika yang kita peroleh kekalahan, timbullah rasa tidak nyaman di hati. Sedih, sesal bahkan amarah. Semakin besar kekalahan kita, semakin dalam rasa sedih, sesal dan amarah di dada. Itu wajar dan biasa saja, manusiawi.

Namun, menjadi sesuatu yang tidak wajar apabila kesedihan, penyesalan dan kemarahan itu kita “rawati” berlarut-larut hingga menggerus akal sehat kita di kemudian hari.

Akibatnya, tidak salah bila ada orang yang mulai meragukan keimanan kita pada taqdir dan qadar Allah yang “mengizinkan” kekalahan itu menimpa kita.

Lalu, bagaimana sebaiknya menyikapi kekalahan? Silakan bersedih tapi cukup sesaat saja. Karena dari kesedihan atau rasa sakit itu akan memunculkan energi arus balik yang luar biasa untuk bangkit lagi menjadi lebih baik, lebih kuat dan lebih hati-hati.

Dari kekalahan itulah sesungguhnya Allah memberi kesempatan kita untuk bermuhasabah, introspeksi dalam mempersiapkan diri menghadapi tantangan dan ujian yang lebih berat di masa yang akan datang.

Bukankan semakin tinggi derajat / tingkat yang akan kita raih, semakin tinggi pula tingkat kesulitan ujian dan tantangan yang harus kita hadapi? Saya terkadang tak habis pikir menyaksikan orang-orang yang melihat kemenangan adalah segalanya sehingga kekalahan dipandangnya sebagai kehinaan ternistanya.

Akibatnya ketika menang dia jumawa, menyombongkan diri, dan ketika kalah dia berusaha membunuh rasa hinanya dengan selalu menghina yang menang.

Dalam hidup ini, kalah dan menang itu biasa. Rasulullah yang habibullah kekasih Allah saja tidak selalu meraih kemenangan dalam peperangan melawan para kaum qurais yang memusuhinya.

Anda tentu ingat, peristiwa pasukan pemanah pada perang Uhud yang mengabaikan perintah Rasul untuk tidak bergerak sebelum ada perintah beliau. Tapi karena mereka tergoda untuk menguasai ghanimah (harta rampasan perang) yang ditinggalkan musuh di bawah bukit Uhud, maka turunlah mereka berbondong-bondong meninggalkan posisinya dan di saat itulah pasukan kavaleri tentara Qurais yang dikomandani Abu Sufyan kembali memutar haluan untuk menghajar pasukan muslim, maka terjadilah pertempuran yang tak seimbang hingga Nabi pun terluka parah. Tentara Islam kalah akibat indisipliner.

Lima tahun kemudian (630 M/8 H), saat berlaga di  perang Hunain. Pada pertempuran “sesi” pertama, pasukan Islam yang matang strateginya, lengkap senjatanya dan banyak jumlahnya, justru mengalami kekalahan, lari tunggang-langgang saat mendapat serangan mendadak di lembah Hunain. (diabadikan dalam At-Taubah: 25-27)

Penyebabnya adalah “rasa” unggul atas kondisi obyektif pasukannya, sehingga terselip kebanggaan diri dan seolah melupakan bahwa kemenangan itu sejatinya atas pertolongan Allah.

Namun dari kekalahan yang tak terduga itu, Rasulullah dibantu sayidina Ali dan Abbas segera melakukan konsolidasi menyatukan pasukan yang bercerai-berai untuk menggelar pukulan balik pada musuhnya dengan hati yang pasrah pada Allah.

Maka, atas bantuan Allah, tentara Islam pun meraih kemenangan. Jadi, sekali lagi, kalah-menang itu suatu yang sangat lazim dalam hidup ini. Terlebih dalam suatu kontestasi, kompetisi atau pertandingan. Maka bila kita siap menang, seharusnya siap juga kalah.

Sayang, kesiapan untuk menerima kekalahan dengan lapang dada (legawa) hanya dimiliki oleh pribadi yang berjiwa besar saja. Sementara kebanyakan di antara kita, baru dalam proses membesarkan jiwa. Maka, mari kita terus berproses untuk makin melapangkan dada agar hati lebih mudah menerima taqdir-Nya. (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/10/10/2022/kalah/

Exit mobile version