Panggilan Kejaksaan

Panggilan Kejaksaan

26 September 2022 07:00 AM

KH Zaimuddin Wijaya As’ad (Gus Zuem)

ISTRI saya sempat kaget, ketika lihat amplop coklat berkop Kejaksaan Negeri yang tertera nama saya, tergeletak di atas meja di rumah.

Dia, sebagaimana orang kebanyakan, berpersepsi bahwa siapapun orang yang disurati kejaksaan, pastilah sedang berperkara, atau setidaknya tersangkut dengan perkara.

Minimal dimintai keterangan terkait sebuah pelanggaran hukum.

Itulah persepsi -yang menurut Prof Purwodarminto- sebagai tanggapan atau respons langsung (spontan) seseorang terhadap sesuatu atas dasar pengetahuan atau pemahamannya.

Oleh karena itu, sesuatu yang sama, bisa melahirkan persepsi yang berbeda dari tiap orang, bergantung pada kadar pengetahuannya.

Nah, dalam kehidupan bermasyarakat ini, ternyata kita dikepung oleh persepsi orang lain tentang kita. Akibatnya, ketika kita berpenampilan dan berperilaku di depan khalayak, -sadar atau tidak- kita didekte oleh persepsi orang yang kita harapkan tentang kita.

Misalnya, supaya orang mempersepsikan saya sebagai pribadi bebas yang berjiwa muda dan gaul, maka ketika di bandara saya pake celana jeans berkaus polo dan bertopi dengan logo Hard Rock Cafe.

Dengan begitu, seandainya boarding room penuh dan pesawat di-delay, saya bisa nyantai duduk bebas selonjoran di lantai bersama calon penumpang lain. hehehe…

Padahal kalau di rumah sangat jarang pake celana. hehehe… Karena ke kantor pun, saya lebih sering bersarung.

Lebih nyaman dan merdeka.

Sebaliknya, supaya dipersepsikan sebagai orang saleh atau salehah yang seolah tidak mungkin melakukan kejahatan, maka para tersangka muslim biasanya pake peci atau kerudung / jilbab seperut ketika proses persidangan berlangsung. Padahal selama ini,  dia hanya berbusana seperti itu ketika lebaran saja. (Lihat penampilan jaksa Pinangki saat sidang).

Itulah contoh sederhana, betapa kita sudah demikian terpengaruh  dengan persepsi sesama, sehingga kita berusaha merekayasa dan  “memanfaatkannya.”

Lebih-lebih dengan massif-nya penggunaan medsos.

Sebagai misal, agar dipersepsikan sebagai hamba yang taat ibadah, maka foto saat sembahyang atau berdoa sambil menangis, dipostingnya di FB, WA dll. Padahal kesehariannya tak demikian.

Atau, agar dipersepsikan sebagai pria yang mampu menikahi beberapa perempuan, dia posting cerita-cerita indahnya bermadu tiga..

Padahal kenyataannya… Jauh panggang dari api… hehehe…

Oh iya, kembali ke surat kejaksaan tadi.

Supaya istri saya tidak terpengaruh dengan persepsinya, maka saya minta dia buka dan baca suratnya.

Ternyata amplop itu berisi undangan pertemuan untuk membangun sinergitas dalam pengawasan aliran kepercayaan di masyarakat.

Alhamdulilah, istri saya pun tersenyum, karena suaminya tak sebagaimana yang dipersepsikan orang awam pada umumnya.

Apalagi dipersepsikan sebagaimana orang-orang pesantren di Madura yang lazim banyak makmum itu. (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/26/09/2022/panggilan-kejaksaan/  



Leave a Reply