Hati yang Terpenjara

Hati yang Terpenjara

22 August 2022 06:07 AM

KH Zaimuddin Wijaya As’ad (Gus Zuem)

SAAT menghadiri resepsi syukuran HUT ke-77 RI di Pendopo Kabupaten Jombang, saya ditempatkan panitia di kursi depan dekat orang muda yang pake uniform mirip TNI AU, sehingga saya pikir dia Dansat Radar, tapi ternyata Kepala Lembaga Pemasayarakatan (Kalapas) Jombang.

Saya, bila jumpa orang muda yg berkarir cemerlang, bersikap baik dan komunikatif. Selalu ingin mengajaknya untuk berswafoto. Baik dia laki-laki maupun perempuan..hehehe.

Ini sebagai bentuk apresiasi saya pada capaian anak muda agar mereka lebih berdedikasi dan semangat berkarya. Ajakan saya, alhamdulillah biasanya direspons dengan positif.

Karena duduk dekat Kalapas, pikiran pun tergoda untuk menerawang dunia yang penuh kontraversi itu.

Lapas (baca: penjara) di benak kita membersitkan kesan kumpulan orang salah di tempat salah dalam kondisi kalah.

Orang salah, karena peradilan telah memutuskan bahwa mereka terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran hukum.

Tempat salah, karena gagasan pemenjaraan sebagai proses penjeraan ternyata dalam realitasnya ditengarai justru telah menjadi tempat transformasi keterampilan tindak kejahatan, bahkan tempat kendali peredaran narkoba.

Kondisi kalah, karena mereka otomatis akan terstigma negatif di mata masyarakat, sehingga hapuslah kebaikan dan kemenangan yang pernah diraihnya selama ini.

Karena begitu negatifnya kesan lapas, maka sangat jarang orang mau mengunjungi temannya yang dipenjara, seolah penghuni penjara itu pengidap penyakit menular yang membahayakan.

Padahal, jika dilihat sebagai bahaya, dibanding “bahaya”nya orang yang dipenjara fisiknya dalam lapas, masih lebih membahyakan orang yang hatinya terpenjara.

Ketika hati terpenjara, meski dia hidup bergelimang kebebasan, harta dan kekuasaan, Dia tidak akan menikmati ketenteraman, kedamaian dan kelezatan hati yang seharusnya bisa menjadi pembimbingnya ke surga Allah.

Penjara hati itu berupa jeruji-jeruji baja yang terbentuk dari rasa benci dan rasa takut kehilangan. Kehilangan apa saja.

Di hati pembenci, tak kenal kata maaf, rasa hormat apalagi rasa sayang. Di hati orang yang takut kehilangan, selalu bercokol prasangka buruk, kehawatiran berlebih sekaligus pengingkaran bahwa segala yang kita miliki pada hakekatnya adalah milik Allah, yang suatu saat akan diambil-Nya.

Untuk itu, sahabat hebatku terkasih, mari babaskan hati kita dari belenggu rasa benci, juga rasa takut kehilangan itu.

Agar hati kita penuh kasih dan ikhlas atas apa pun ketetapan Allah. Ajakan ini bukan berarti hati saya sudah bebas dari belenggu kedua rasa tersebut, karena terkadang masih sering muncul rasa takut kehilangan itu..

Yaitu…kehilangan senyumanmu. Maka tersenyumlah, agar dunia ikut tersenyum. (*).

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/22/08/2022/hati-yang-terpenjara/



Leave a Reply