Iso Nyawang Raiso Nyanding

Iso Nyawang Raiso Nyanding

8 August 2022 08:01 AM

KH Zaimuddin Wijaya As’ad (Gus Zuem)

PERISTIWA ini terjadi tiga tahun lalu. Ketika saya menjadi salah seorang interviewee-nya peneliti yang berasal dari Denmark.

Dia menulis tentang (kalau tidak salah) “Gerakan Islam Tradisional dan Perkembangan Jaman”. Kami sempat “berdebat” tentang penggunaan istilah Islam Tradisional itu, sampai dia pada akhirnya menyerah dan menunjuk pendapat yang dia rujuk tentang NU sebagai organisasi Islam yang bersifat tradisional karena memiliki misi mempertahankan tradisi budaya lokal….beda dengan “saudara” seperjuangan yang lainnya..  hehehe.

Saya kemudian dengan santai menjelaskan padanya bahwa NU itu gak gitu-gitu amat, karena NU itu berupaya “menjodohkan” tradisi dengan modernitas secara alami, natural, smoot, sehingga perjodohannya itu tumbuh dari rasa cinta yang dilandasi rasa saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Dari situlah kemudian akan lahir sikap tawassuth alias moderat, sehingga dalam pergulatan ideologis keagamaan dan kebangsaan di negeri kami ini, NU sejauh mungkin menghindarkan RI dari perpecahan anak bangsa yang bisa melenyapkan persatuan Indonesia.

Hehehe… dia bersama asistennya yang dari UI itu angguk-angguk saja..hehehe. Saya tidak tau mereka angguk-angguk itu karena faham atau sekedar isyarat spy cepat beralih ke daftar pertanyaan yang sudah disiapkan.

Ada delapan pertanyaan yang diajukan. Semua butuh penjelasan. Ada yang berkaitan dengan latar belakang (why), ada yang berhubungan masa depan (how).

Selain itu, ada pertanyaan di luar daftar yang bersifat pendalaman atas penjelasan saya. Pokoknya, saya layani semua pertanyaannya sampe dia merasa cukup… hehehe.

Pada akhir pertemuan, saya katakan: Kami senang Anda berkunjung ke pesantren kami, karena opini yang terbangun di masyarakat barat, lembaga pesantren adalah tempat para calon teroris dididik. Padahal Anda sekarang bisa lihat sendiri, keceriahan para santri, guru dan para kiai yang penuh cinta dan sangat hangat menyambut Anda.

hehehe…. tapi “bad news is good news”, saya faham adagium itu.. maka seandainya hal-hal baik yang Anda temukan di Darul’ulum atau masyarakat Islam Indonesia pada umumnya, nanti tidak ter-publish, saya bisa memaklumi..”

Untuk dokumentasi, sebelum pulang, kami pun berfoto. Bahkan asistennya dari UI yang manis, sempat minta foto berdua pake HP-nya. Hehehe…. saya tidak tau, bagaimana hasilnya..

Nah…. tiga bulan kemudian, ada kiriman paket dari peneliti itu dengan alamat kampus Unipdu. Di pengantarnya, ia mengucapkan sangat berterima kasih atas penjelasan-penjelasan saya yang sangat membantu.

Sebagai tanda terima kasihnya di kirimkan sepatu merek B***Y yang mahal (kira-kira Rp 5 juta lebih). Saya senang sekali.. karena tidak pernah punya sepatu merek itu.

Sepatu langsung saya coba, tapi kaki agak sulit masuk. Sehingga harus agak dipaksa. Setelah saya amati, ternyata nomor ukurannya lebih kecil satu nomor dengan sepatu ukuran saya. Wadduh sayang sekali. Jika saya paksa, kaki memang bisa masuk tapi kalau dipakai jalan, kaki terasa sakit. Lha mosok pakai sepatu untuk tiduran.

Saya jadi teringat ungkapan Jawa : iso nyawang oraiso nyanding.

Saya hanya bisa memandangi sepatu itu tapi tak bisa memakainya. Hehehe… seperti mereka yang hanya bisa berkirim WhatsApp tapi tak bisa jumpa. Atau… bisa jumpa tapi tak bisa bersanding. Bukan karena apa-apa…tapi karena pandemi… harus jaga jarak. Pandemi oh pandemi..

Pesan Moralnya:

Betapa pun menariknya dia (baca: sepatu baru), tidak ada artinya bila tidak ada kecocokan di hati (baca: kaki)..

Maka apa pun kondisinya ( sepatu itu), rawatlah dia yang sudah setia menemani perjalanan kita sejauh ini. (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link https://radarjombang.jawapos.com/opini/08/08/2022/iso-nyawang-raiso-nyanding/



Leave a Reply