Perpustakaan Unipdu

Suami Penjaga Rasa

Suami Penjaga Rasa

13 June 2022 08:01 AM

KH Zaimuddin Wijaya As’ad (Gus Zuem)

Hadir dalam acara resepsi pernikahan, jumpa teman lama yang telah menjadi tokoh masyarakat di luar kota.

Seperti biasa, kami saling sapa dengan tanya jumlah anak atau sudah mantu apa belum.

Pertanyaan standar yang lazim ditanyakan sesama pria “dewasa”.

Tapi kali ini ada yang tak lazim dari sahabat saya itu.

Biasanya pria yang senasib dengannya akan menampakkan wajah sedih kala menjawab pertanyaan saya.

Namun dia nyantai dan looss saja.

Ketika saya tanya berapa jumlah anaknya, dia menjawab : “Alhamdulillah.. aku beristeri wanita yang sangat shalihah.. yang sangat mendukung usaha dan perjuanganku, sehingga aku sekarang punya kantor cabang hampir di seluruh kota di Jatim dan rezeki yang aku peroleh bisa membantu pendidikan anak-anak di beberapa kota,,”

“Alhamdulillah.. berarti anak-anak ente sekarang ada di beberapa kota ya..?” responsku meminta konfirmasi tentang anak-anaknya.

Dia menghela napas ringan-ringan saja sambil mengatakan: “Iya… hehehe.. mereka adalah anak-anak yang aku ambil dari orang-orang tua yang tidak mampu atau yatim piatu… mereka kusekolahkan sampai jenjang yang mereka mau.. ”

Mendengar jawaban itu, timbul rasa sesal di hati saya yang bertanya tentang jumlah anaknya tadi. Karena dia sepertinya belum dikarunia keturunan.

Saya pun secepatnya mengalihkan topik pembicaraan tentang pengantin laki-laki yang seangkatan dengan anak saya di jogja.

Tapi dia malah memperpanjang cerita tentang keluarganya.

“Hehehe… aku memang tidak punya keturunan, dan kami sepakat untuk tidak mencari siapa pihak yang tidak subur.

Aku yakin, Allah telah memberikan yang terbaik untukku dalam hidup ini, termasuk istri yang mendampingiku, dia adalah pilihan terbaik-Nya.”

“Begitu ya…” sela saya.

“Iya laah… Bagaimana tak terbaik… dia telah berkali-kali mendorongku untuk menikah lagi, supaya aku dapat keturunan. Sampai-sampai dia pernah meminta seorang sekretaris cabang perusahaanku di kota M untuk mau menjadi istriku. Dia bilang : mas saya tadi sudah minta si Y untuk jadi istri muda mas, dia senang sekali… Mas mau kan..? Dia itu luwes, manis dan grapyak loh.. mantan juara putri pariwisata kota B.

Aku tidak merespons sama sekali. Aku hanya bilang, sudahlah mah.. bicara yang lain saja..”

“Wah hebat sekali ya, istri ente..” timpal saya, sambil menata posisi duduk. “Apa alasan ente kok tidak mau memenuhi sarannya untuk menikah lagi, padahal itu kesempatan untuk punya keturunan.. lagi pula amat sangat jarang loh istri yang begitu antusias mendorong suaminya menikah lagi..?”

“Hehehe… alasanku sederhana.. hidup ini satu paket lengkap.

Allah memberi kita anugerah dan ujian sekaligus.

Ada keluarga yang dikarunia keturunan, laki-laki & perempuan, tapi diuji dengan keterbatasan fasilitas hidupnya.

Ada keluarga yang berketurunan dan dicukupi fasilitas hidupnya, tapi diuji dengan kenakalan anak atau istrinya.

Ada keluarga yang dikarunia kecukupan fasilitas hidup dan istri yang cantik nan shalihah, tapi diuji dengan tiadanya keturunan.

Itulah realitas yang sedang aku hadapi.

Alhamdulillah, aku syukuri saja dan aku tidak hendak menduakan istriku, karena aku tidak ingin hatinya terluka sedikitpun.

Aku merasa sangat berdosa padanya andai itu aku lakukan, sebab sewaktu kami merangkak dari bawah, aku banyak sekali mengorbankan fisiknya, kesenangannya bahkan istirahatnya, ee.. sekarang setelah semuanya aku peroleh mosok aku malah mengorbankan perasaannya…” jelasnya sambil mengajak swafoto.

Hehehe… sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya dipenuhi dengan prinsip kesetiaan yang “dianut” teman saya itu.

Luar biasa… barangkali ini yang disebut orang zuhud.

Dia berkesempatan untuk melakukan, tapi dia bisa mengendalikan diri untuk tidak melakukannya.

Saya yakin, tak banyak pembaca yang bisa seperti itu..

kecuali Anda. (*).

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/13/06/2022/suami-penjaga-rasa/   

Exit mobile version