Kolom Gus Zuem: “Halal ala WNI”

Kolom Gus Zuem: “Halal ala WNI”

4 April 2022 08:26 AM

Oleh KH. Zaimuddin Wijaya As’ad, Pengasuh PP Darul Ulum Rejoso

 

PERTENGAHAN November 2012 lalu, saya berkesempatan membersamai para tokoh tourisme dan akademisi yang berlatar belakang keislaman, melaksanakan tugas dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) untuk melakukan muhibbah (kunjungan silaturahim) ke 3 negara ASEAN ( Singapura, Malaysia dan Thailand ).

Misi utama kami adalah mencari ilmu tentang format “Halal Tourism” (dulu kami sepakati dengan sebutan: Wisata Syariah) yang mereka tawarkan pada para pelancong muslim internasional  yang menghendaki akomodasi, konsumsi dan destinasi wisata mereka betul-betul terjamin kehalalannya atau sesuai syariat.

Misi itu dilatarbelakangi rasa “terpukul” Wamen Parekraf saat itu (Bapak Sapta Nirwandar) atas adanya  “Halal Tourism” yang berkembang pesat di Jepang, New Zealand, USA, China, Brazil dan negara-negara minoritas muslim lainnya.  Maka, begitu mengetahui bahwa beberapa negara ASEAN telah mulai mengembangkan industri pariwisata khas tersebut, dibentuklah semacam FGD (Focus Group Discussion) untuk merintis format wisata syariah yang akan dikembangkan di tanah air yang mayoritas Islam ini.

Singkat kisah, setelah menimba ilmu dari praktisi “penjaga” kehalalan pariwisata di tiga negara ASEAN tersebut, saya mendapat beberapa kesimpulan “sampingan” tentang kehalalan di masyarakat kita, sbb:

Pertama, di Malaysia, rumah-rumah makan atau warung-warung dilarang menuliskan sendiri di tempat makannya, kalimat / kata: 100% Halal. Yang melanggar, terkena sanksi.

Bagaimana di Indonesia? hehehe… penjual bisa nulis seenaknya tanpa beban moral, meski yang dijual tak jelas kehalalannya.

kedua, di Singapura, penduduk muslim di sana hanya masuk rumah makan/restoran yang di pintunya tertempel stiker halal sebagai legalitas kehalalan yg dikeluarkan MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura) atas proses, bahan dan produk makanannya. Maka bila ada orang berbusana muslimah(berjilbab) yang masuk KFC atau McD (dulu belum bersertikat halal), bisa dipastikan bahwa perempuan itu adalah orang Indonesia.

Mengapa itu bisa terjadi..? Menurut otoritas Singapura tersebut, karena bagi pelancong Indonesia itu, makanan yang dijual KCF & McD adalah ayam dan sapi bukan babi, jadi sudah pasti halal.

ketiga, di Thailand, bila Anda berjilbab lalu membeli roti atau makanan di sebuah toko/warung, maka penjual akan mengatakan: “makanan ini bukan untuk Anda” (It’s not for you), jika makanan itu mengandung sesuatu yang terlarang (alkohol, daging anj*ng/babi/celeng).

Bagaimana dengan penjual di Indonesia..? apakah seterus terang itu..? Alih-alih terus terang, malah menggelapkan informasi tentang campuran bahan-bahan haramnya.

Dari realitas di atas, saya mendapat pelajaran, betapa tinggi semangat keislaman masyarakat kita, dilihat dari tampilan islaminya.

Akan tetapi sayang, semangat itu tidak diimbangi dengan ilmu yang memadai dan kerendahan hati untuk mau belajar.

Akibatnya, mereka merasa sudah cukup ber-Islam dengan sekedar tampilan fisik dan tampilan gerak “penegakan” hukum Islam yang gagah berani tapi justru menunjukkan ketinggian hatinya, karena  merasa paling benar.

Padahal kalau kita ngaji dahulu, ketinggian hati atau ketakaburan itu akan menempatkan kita bersama iblis di neraka-Nya.

Naudzubillah min dzalik..

Untuk itu, sahabat hebatku..

Kita tidak dilarang beda pendapat

Kita tidak dilarang untuk berdebat

Asal jangan saling menghujat

Agar kita tetap bersahabat

Dengan ikatan yang kuat

Supaya selalu menerima Rahmat

Dari Allah Yang Maha Haibat.

– Advertisement –

Editor : ROJIFUL MAMDUH

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/kota-santri/04/04/2022/kolom-gus-zuem-halal-ala-wni/



Leave a Reply