Kurikulum Wajib KIAI

Kurikulum Wajib KIAI

20 February 2023 07:46 AM

Kolom Gus Zuem, sebuah tulisan dari KH Zaimudin As’ad

Kurikulum pendidikan kita selalu mengalami perubahan. Akibatnya, belum tuntas satu model kurikulum diterapkan secara total dalam tiap jenjang pendidikan, para pengelola sekolah dan guru harus mengikuti bimtek penyusunan perangkat pembelajaran baru, mulai dari nol lagi. Maka tidak mengherankan bila di kalangan praktisi dan pemerhati pendidikan muncul ungkapan: “Ganti menteri ganti kurikulum”.

Secara sederhana, sebagai orang awam, saya melihat kurikulum yang diterapkan selama ini memiliki orientasi yang beragam. Kurikulum berorientasi kemanfaatan pascapendidikan: mata-mata pelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja (link & match), sehingga lembaga pendidikan itu dipandang sebagai tempat pencetak pekerja.

Kurikulum berorientasi hasil akhir atau evaluasi: mata-mata pelajaran yang disampaikan berorientasi pada capaian nilai kelulusan yang tinggi, sehingga ujian akhir (Unas) dipandang sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan seseorang.

Kurikulum berorientasi proses: mata pelajaran yang disampaikan lebih ditekankan pada habituasi, pembiasaan praktis disesuaikan dengan “spesifikasi” atau keunikan murid. Akibatnya, ujian akhir yang menstadarisasi penguasaan murid terhadap pelajaran yang diterima, menjadi sesuatu yang tidak penting. Maka dihapuslah ujian-ujian yang membuat orang pandai melukis, mengarang, menari atau mengaji itu merasa minder pada yang pintar matematika, karena kepintaran mereka tidak diapresiasi oleh sistem.

Perlu diketahui bahwa tiap orientasi kurikulum di atas didukung oleh para pakar pendidikan masing-masing yang semuanya memiliki dasar kuat untuk mempertahankannya. Hal itu sesuatu yang sangat wajar, karena obyek garapan mereka adalah manusia yang multidimensi, yang tidak bisa disentuh dengan satu pendekatan saja.

Maka jika Anda bertanya, saya lebih memilih kurikulum yang mana, jawab saya : memilih semuanya.

Mengapa..? Bagi saya, apapun orientasi atau nama kurikulumnya, yang terpenting adalah: apakah akhlak menjadi acuan tertinggi dalam proses dan hasil dari penyelenggaraan pendidikan itu.

Karena nilai akhlak sulit diukur, maka dalam kesempatan workshop kurikulum MBKM ( Merdeka Belajar Kampus Merdeka) beberapa hari lalu, di hadapan narasumber dan para dosen Unipdu, saya sampaikan bahwa apapun kurikulumnya, yang harus menjadi perhatian adalah : kurikulum itu wajib memenuhi syarat untuk melahirkan lulusan yang KIAI.

Ketika kata KIAI itu saya ucapkan, para hadirin dan narasumber ( begitu juga pembaca ) mengernyitkan dahi seolah penasaran dan mencari korelasi antara KIAI dan kurikulum.

“Hehehe… Bapak-Ibu sekalian, KIAI di sini bukanlah gelar ulama Jawa atau pemangku pesantren, tapi singkatan dari empat kata sifat..” klarifikasi saya untuk mengurangi rasa penasaran mereka.

Lulusan yang KIAI adalah :

K- Kreatif : Memiliki daya cipta yang tinggi. Mampu meng-create sesuatu yang belum ada menjadi ada. Setinggi apapun pendidikan seseorang, bila kreativitasnya rendah, ia hanya akan menjadi konsumen pasar global.

I- Inovatif : Memiliki kemampuan untuk memperbarui susuatu (benda,sistem) sehingga lebih mudah dioperasikan atau lebih bermanfaat dari sebelumnya. Kemampuan ini sangat bernilai tinggi sekarang. Dulu bertelepon hanya dengan suara, kemudian ada inovasi bertelepon dengan gambar. Bahkan sekarang sedang dikembangkan bertelepon dengan gambar dan aroma.

A- Adaptif : Mampu dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perkembangan zaman. Ini tidak berarti seseorang itu didikte oleh waktu tapi sebagai upaya menyelamatkan diri dari gilasan waktu yang tak kenal kompromi.

I- Interkonektif : Mampu menjalin hubungan dengan berbagai koneksi atau jaringan. Dalam bahasa sederhana : menjalin silaturrahim dengan berbagai elemen atau komunitas.

Kemampuan ini meniscayakan adanya ketinggian ilmu dan kemulian akhlak. Sebab, tanpa kedua hal tersebut, kita akan sulit menembus jejaring yang butuh pengetahuan sebagai “password” untuk masuk, dan kemuliaan akhlak sebagai “kartu identitas” kita untuk diterima.

Dengan meneguhkan kualifikasi KIAI sebagai hasil penerapan suatu kurikulum, maka setiap pergantian menteri yang berdampak pada penggantian kurikulum sebaiknya disikapi dengan wajar dan penuh optimisme. Sebab, kurikulum itu pada hakekatnya produk olah pikir manusia yang dipengaruhi oleh zaman yang terus bergulir sepanjang waktu.

Maka dalam penerapan kurikulum, saya sarankan pada seluruh lembaga pendidikan untuk memberlakukan maqalah (adagium) : “al-muhafadhatu ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah” ( mempertahankan yang lama yang masih baik, dan mencari yang baru yang lebih baik ).

Hehehe… maqalah yang sangat populer di komunitas pesantren tapi sering disalahfahami oleh para istri. (*)

 

Editor : Achmad RW

Sumber : Jawapos Radar Jombang

Link : https://radarjombang.jawapos.com/opini/20/02/2023/kurikulum-wajib-kiai/



Leave a Reply